Cerpen Karangan: Arsy
Kategori: Cerpen Fantasi (Fiksi)
Lolos moderasi pada: 15 October 2019
Sakitku tak akan pernah sembuh.
Aku tak pernah mengira sekilas pun, selama separuh usia, tiap hirup napas ku lepas aku ingin kembali. Kembali ke masa di mana semuanya berawal. Masa dimana aku masih mengingat cara tersenyum. Masa sebelum kamu menggantikanku.
Aku tak pantas mengatakan ini, tapi aku minta maaf—sudah terlanjur. Aku akan membunuhmu.
Kau dengar. Aku yakin kamu pasti dengar. Karena kamu di dalam sana. Di dalam tempat yang tak bisa kuraih. Tapi dengan mudahnya kau selalu meraupku. Seperti pasir pantai yang bebas siapapun genggam dan bawa pulang. Kali ini aku tak akan tinggal diam.
“Jadi bagaimana?”
“Ah… bagaimana ya?” lelaki itu memiringkan kepalanya. Senyumnya mengembang seraya memandangku dengan tatapan meledek.
“Tolong jangan bercanda. Aku tidak punya waktu. Aku sudah bilang, aku akan membayarmu. BERAPAPUN KAU MAU.” kataku dengan nada datar tapi menekan di akhir kalimat. Manusia mana yang dikasih uang, nggak mau?
“Ah… bagaimana ya?” lelaki itu memiringkan kepalanya. Senyumnya mengembang seraya memandangku dengan tatapan meledek.
“Tolong jangan bercanda. Aku tidak punya waktu. Aku sudah bilang, aku akan membayarmu. BERAPAPUN KAU MAU.” kataku dengan nada datar tapi menekan di akhir kalimat. Manusia mana yang dikasih uang, nggak mau?
“Well well tuan muda. Aku tak meragukannya. Dari atas sini saja aku dapat mencium bau uang dari napasmu. Tapi…,” pria itu mulai menuruni anak tangga, gerakannya begitu luwes—mendekat ke arahku yang berada tepat di lantai dasar. Mataku terus mengikuti gerak-geriknya. “Kenapa aku harus membantumu?” tanyanya lagi. Nada selidik begitu kental pada suaranya. Ia sudah memajukan badannya di depanku setelah jarak kami tak lebih dari sejengkal. Dia menatapku dalam, seolah menelusuri ruang terdalam dalam diriku.
Aku membalas tatapannya, menolak untuk terintimidasi. Ada sesuatu di ujung bibirnya, sesuatu panjang seperti tangkai rumput kering. Dasar gembel! Kenapa dia begitu sombong? Tak ada satu pun darinya yang bahkan pantas untuk dipandang.
“Pernah dengar uang bukan segalanya?” lanjutnya, masih dengan nada songongnya.
Kalau saja aku tidak begini. Aku tak sudi berurusan dengan pria gembel macam dirinya.
“Lalu apa maumu?”
“Separuh dari semua yang kau punya.”
“Apa kau gila?!”
“Separuh dari semua yang kau punya.”
“Apa kau gila?!”
Kemana perginya uang bukan segalanya!
“Apa aku tampak gila?”
Sangat. Aku mengeratkan tinju. Dapat kurasakan sesuatu panas mengalir ke sendi-sendiku. Berani sekali dia main-main denganku!
Aku melepaskan napas dengan kasar. Lalu mengirupnya perlahan dan panjang.
“Kalau aku tidak setuju?”
“Then the deal is off,” sahutnya sambil mulai menjauh. Jangan pergi!
“Oke!” kataku cepat dengan nada agak meninggi.
“Kalau aku tidak setuju?”
“Then the deal is off,” sahutnya sambil mulai menjauh. Jangan pergi!
“Oke!” kataku cepat dengan nada agak meninggi.
Aku akan mengakhirinya. Meski semua hartaku ludes, aku tidak peduli.
Dia memutar badan. Lalu bibirnya membentuk senyum miring itu lagi. Dia mengangkat telunjuk dan menggerakkannya tanda menyuruhku mengikutinya. Dengan gerakan cepat —bahkan aku tak sempat melihatnya— dia sudah menyergap tanganku, lalu seperdetik menancapkan kuku tajamnya di kulitku.
“Ouc—what the hell!” Dia hanya tergelak. Aku meringis. Satu tanganku menangkup kulit di mana tetes darah segar mulai mengalir darinya. Aku mendongak, melotot tajam pada sosoknya. Dia melengos, melanjutkan langkahnya dengan santai seolah tadi tak terjadi apa-apa. Dengan emosi yang berkecamuk aku tetap mengikutinya.
“Oh ya, satu lagi,” katanya—menghentikan langkah, mendongak kepadaku, karena tubuhku lebih tinggi beberapa senti darinya.
“Aku bukan manusia. Dan obviously, kamu baru saja sebuah menandatangani perjanjian denganku.”
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
Tidak ada komentar:
Write komentar